Fasilitasi dengan Hati
Air mata diseka dengan punggung tangan kiri. Sementara satu tangan lain
bergerak mengikuti lagu tentang perpisahan. Gerakan tangan spontan tanpa sadar
seperti itu hampir dilakukan semua peserta perempuan pelatihan. Air yang keluar
dari sudut mata bukan dibuat-buat. Tapi keluar dengan sendiri. Keluar dengan
tanpa paksaan. Sebuah pemandangan detik-detik akhir pelatihan yang bikin ‘melo’
siapa saja yang melihat.
Proses pelatihan program Perpustakaan Seru (Perpuseru) dikemas tidak
seperti pada pelatihan lain. Pembelajaran bagi orang dewasa terasa betul
dirasakan. Dari mulai belajar dua arah dengan lebih banyak memancing ide
peserta. Diselingi pemutaran video. Disegarkan permainan yang menarik. Dan satu
lagi yang bikin hidup pelatihan, bertaburnya bintang. Bagi peserta yang aktif
akan mendapatkan bintang. Setiap hari di akhir pelatihan, perolehan bintang
diakumulasi untuk mendapatkan cinderamata.
Sungguh ‘seru’ ketika metode pelatihan Perpuseru menyentuh masyarakat pedesaan.
Masyarakat desa yang peduli perpustakaan desa. Selama ini mereka hanya mengenal
belajar satu arah saat masih sekolah. Apalagi merasakan permainan pelatihan
serta apresiasi bintang saat aktif di kelas. Perasaan seperti itu dilontarkan
perwakilan peserta saat memberi kesan pelatihan di acara penutupan. Padahal
yang memberi kesan seorang pemuda yang masih aktif kuliah. Dalam benak saya,
apalagi kesan bagi peserta lain yang jarang atau tidak pernah sama sekali ikut
pelatihan. Kesan yang mereka diterima pasti akan lebih seru lagi.
Sebagai fasilitator saya merasakan langsung kelebihan konsep Perpuseru.
Selesai acara pembukaan resmi, peserta masih terlihat tegang dan kaku. Namun
setelah masuk sesi fasilitasi, suasana pelatihan semakin mencair. Baik sesama peserta
maupun dengan fasilitator. Suasana kelas berbagi pengalaman inilah yang semakin
mendekatkan peserta dengan fasilitator. Kedekatan kian terjalin hangat tatkala
di luar sesi pelatihan fasilitator berbaur bareng peserta. Misalnya pada saat makan siang, fasilitator
ikut gabung lesehan.
Dari kedekatan inilah mulai muncul keterbukaan. Mereka berani menceritakan
kondisi perpustakaan desa dan hal lain yang melingkupi. Terkadang di luar kelas
kita sering mendapatkan banyak informasi penting. Di sinilah saat komunikasi
sudah berjalan seirama, sikap respek dan jadi pendengar yang baik diuji. Bahkan
pula ada peserta yang sampai berani
berkeluh kesah tentang ekonomi keluarga. Pun rasa empati dan hati ditantang.
Empati dan hati tidak hanya terusik saat pelatihan. Selesai acara masih juga dilibatkan.
Hati? Ya hati. Organ dalam tubuh manusia yang berbentuk segumpal daging.
Hati merupakan produk Tuhan yang unik. Apabila hati baik, baiklah seluruh
tubuh. Meski ada dua arti hati yaitu daging dan bisikan Rabbani, saya
tidak akan masuk jauh ke penafsiran tersebut. Sudah jelas bahwa hati bagaikan
pemimpin yang ditaati di dalam tubuh dan yang lainnya adalah rakyat. Berpijak
perumpamaan tersebut berarti pikiran, ucapan dan tindakan baik tentunya berasal
dari hati yang baik pula.
Maka tidak ada salah jika hati dilibatkan dalam kegiatan Perpuseru. Baik di
proses pelibatan masyarakat, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi
maupun saat melakukan advokasi. Jika semua langkah kegiatan Perpuseru dijiwai
semangat hati, niscaya capaian yang akan diperoleh akan berdampak positif pada
banyak orang. Lalu, siapa yang perlu melibatkan hati dalam proses tersebut?
Tentunya fasilitator perpuseru selaku pihak yang mendampingi perpustakaan desa.
Melalui tulisan ini saya tidak menonjolkan kemampuan diri bisa membawa hati
saat memfasilitasi. Namun dampak fasilitasi dengan hati sudah bisa dirasakan di
detik-detik akhir pelatihan strategi pengembangan perpustakaan di Kabupaten
Jepara. Diawali tiga fasilitator perpuseru diluar sepengetahuan perpustakaan
daerah menyiapkan kejutan berupa cinderamata. Jika biasanya cinderamata
diberikan pada peserta yang memperoleh banyak bintang, kali ini akan dikasihkan
kepada semua peserta pelatihan. Tujuan kita mengakui kalau semua peserta memiliki
semangat luar biasa dalam mengikuti proses pelatihan.
Di luar perkiraan, ternyata peserta juga menyiapkan kejutan besar buat
fasilitator. Kita disuruh gantian menjadi peserta. Mereka bikin acara yang
telah direncanakan. Pembacaan puisi dadakan yang diciptakan khusus acara sore
itu. Dibuatkan kue tar khusus buat fasilitator. Saat lilin di atas kue kita
tiup, secara perlahan lagu perpisahan mereka nyanyikan. Saat itulah tanpa
sadar, air menetes dari sudut mata para ibu peserta perempuan. Peserta
laki-laki hanya menahan luapan emosi, bisa terlihat dari merah raut mukanya.
Kejutan lain pun ternyata masih mengantre. Bingkisan berukuran besar
dibagikan satu persatu kepada kita. Sampai di rumah dibuka berisikan
cinderamata dan sepucuk surat. Surat itu tertanda seluruh peserta pelatihan.
Berisikan ucapan terima kasih dari hati yang paling dalam. Terima kasih untuk
waktu, tenaga, pengalaman dan katanya senyum kita. Peserta berdoa hanya Tuhan
yang bisa membalas amal baik kita. Begitu tulisan di akhir surat tersebut.
Muncul Relawan
Berawal kedekatan hati inilah, kami mulai menjalin komunikasi dari hati ke
hati. Dari satu perpustakaan desa ke pepustkaan lainnya. Ada perpustakaan desa
yang dulu hanya buka layanan 2 hari dalam seminggu, sekarang bisa buka tiap
hari. Tambahan buka layanan empat hari dibantu 2 tenaga relawan peserta
pelatihan. Tenaga relawan tersebut mengaku memanfaatkan sisa usia untuk
kemaslahatan masyarakat. Bila ditelisik ternyata dua relawan tersebut memiliki
banyak kegiatan. Satu relawan merupakan pelatih sepakbola. Sementara relawan
yang lain meski sudah punya cucu tapi masih aktif sebagai mahasiswa.
Di desa lain juga muncul relawan petugas perpustakaan. Kalau di desa
sebelumnya bertugas dari pagi hingga siang, di desa ini mulai siang sampai sore
hari. Relawan ini pada pagi hari mengajar di salah satu PAUD desa setempat.
Tatkala ditanya kenapa mau jadi relawan perpustakaan, ia mengaku ingin
masyarakat desa bisa memanfaatkan layanan perpustakaan desa secara maksimal.
Munculnya beberapa relawan perpustakaan tentunya tumbuh dari kedalaman
hati. Mereka bersedia memanfaatkan sisa waktunya demi kebaikan masyarakat.
Mereka mempersilakan masyarakat untuk merasakan kucuran keringatnya untuk datang
ke perpustakaan desa. Mereka ikhlas sepenuh hati mengorbankan waktu dan tenaga
demi kemajuan perpustakaan. Dari hal baik inilah, tentunya hasil yang akan
dinikmati oleh masyarakat pasti akan lebih baik pula. Itu harapan kita semua.
Jika masyarakat secara totalitas mengusung kemajuan perpustakaan. Bagaimana
dengan kita? (***)
No comments:
Post a Comment